Senin, 09 November 2015

DEMOKRASI ALA WONG DESO II


DEMOKRASI ALA WONG DESO II
(Oleh:Zaini Addimawy)

Desa Poncoharjo Kecamatan Bonang Kabupaten Demak kini sudah PlT. (Pelaksana Tugas) dalam pemerintahannya yang sebelumnya dipimpin oleh kepala desa yang lama yaitu Haji Sutrisno. Hal ini tentu menjadikan warga mulai menerka-nerka siapa kelak yang maju sebagai kepala desa.



Desa Poncoharjo Kecamatan Bonang Kabupaten Demak memang unik, unik karena beberapa hal terutama demokrasi dalam pemilihan kepala desa, seperti diketahui penulis, seorang calon kandidat kepala desa harus mengganti namanya secara mistis, dengan maksud supaya terhindar dari serangan yang bersifat mistis, misalnya santet atau teluh.

Selain merubah nama seorang calon kepala desa yang bertarung dalam pemilihan kepala desa harus menyiapkan cost demokrasi untuk money politik mencapai  1 (satu) milyar rupiah, sungguh harga yang fantastis yang harus dikorbankan untuk menjadi kepala desa. Ini yang penulis amati pada PILKADES 2008 silam.
baca juga  Demokrasi Ala Wong Ndeso

Pada PILKADES Desa Poncoharjo yang akan datang sepertinya akan berubah dan memang seharusnya sudah berubah, berubah cara pandang dalam pemilihan. Ketika pemilihan sebelumnya hanya yang berduit saja yang bisa calon kepala desa meningngat ongkos money politiknya yang sangat tinggi seperti yang penulis sebutkan diatas dengan harapan kalau jadi atau terpilih menjadi kepala desa mendapat gaji 25 bau (1 Bau lebih kurang 0,75 Ha) sawah selam 6 (enam) tahun, yang jika dikalkkulasikan mampu mengganti ongkos politik yang dikeluarkan.

Namun sebaliknya bagi pihak yang kalah dalam pertarungan PILKADES ini dapat diyakini akan mengalami kerugian besar bahkan bisa sampai kedalam kebangkrutan.

Namun sekarang setelah disyahkannya UU No. 6 Tahun 2014, Permen No. 113 Tahun 2014 maka Permen Dalam Negeri No. 37 Tahun 2007 dicabut, dan dinyatakan tidak berlaku, maka ekstalasi politik mulai berubah, betapa tidak, sistem gaji kepala desa berubah dari bengkok sawah yang besar diganti dengan gaji bulanan yng nilai kursnya jauh lebih rendah dari sistem bayaran bengkok, jika dihitung dengan ongkos politik yang mencapai satu milyar, maka amat sulit untuk bisa mengembalikan modal politik tersebut, hal inilah yang dipikirkan oleh orang yang akan maju menjadi bakal calon (Balon) kepala desa pasalnya mereka para calon tahu betul, mereka akan rugi besar  meski nanti akan ada Dana Desa, yang nilainya mencapai 1 Milyar Rupiah pertahun perdesa, namun dari pihak pemerintah akan ada pendamping desa yang akan membimbing dalam penyususnan RAPBDesa (Rencana Anggaran pendapatan dan Belanja Desa).

Namun demikian pada dasarnya jika kepala Desa ingin melakukan pemalsuan anggaran bisa saja terjadi namun KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) siap menciduknya dan ‘Hotel Prodeo’ (Baca: Penjara) siap menjadi tempat tinggalnya, Dan penulis meyakini akan banyak para kepala desa yang akan masuk kedalamnya karena  terjerat kasus korupsi.

Sisi baiknya ditetapkannya UU no.6 Tahun 2014 itu menjadi angain segar jiwa-jiwa muda yang ingin memajukan desanya untuk maju menjadi kepala desa, karena tidak lagi tidak lagi membutuhkan dana besar untuk menjadi kepala desa.

Jika demikian maka bisa disimpulkan Demokrasi Ala Wong Deso akan mengalami kemajuan yang signifikan, indikatornya adalah, minimnya politik uang, jiwa muda yang berpendidikan tinggi mau maju sebagai kandidat, dan kurangnya cara mistis dalam demokarasi pemilihan desa. Dan akhirnya desa semakin maju dan berdikari insyaallah.


0 komentar:

Posting Komentar