DEMOKRASI ALA WONG DESO II
(Oleh:Zaini Addimawy)
Desa Poncoharjo Kecamatan Bonang Kabupaten
Demak kini sudah PlT. (Pelaksana Tugas) dalam pemerintahannya yang sebelumnya
dipimpin oleh kepala desa yang lama yaitu Haji Sutrisno. Hal ini tentu
menjadikan warga mulai menerka-nerka siapa kelak yang maju sebagai kepala desa.
Desa Poncoharjo Kecamatan Bonang Kabupaten
Demak memang unik, unik karena beberapa hal terutama demokrasi dalam pemilihan kepala
desa, seperti diketahui penulis, seorang calon kandidat kepala desa harus
mengganti namanya secara mistis, dengan maksud supaya terhindar dari serangan
yang bersifat mistis, misalnya santet atau teluh.
Selain merubah nama seorang calon
kepala desa yang bertarung dalam pemilihan kepala desa harus menyiapkan cost demokrasi untuk money politik mencapai 1 (satu) milyar rupiah, sungguh harga yang
fantastis yang harus dikorbankan untuk menjadi kepala desa. Ini yang penulis
amati pada PILKADES 2008 silam.
baca juga Demokrasi Ala Wong Ndeso
baca juga Demokrasi Ala Wong Ndeso
Pada PILKADES Desa Poncoharjo yang
akan datang sepertinya akan berubah dan memang seharusnya sudah berubah,
berubah cara pandang dalam pemilihan. Ketika pemilihan sebelumnya hanya yang
berduit saja yang bisa calon kepala desa meningngat ongkos money politiknya yang sangat tinggi seperti yang penulis sebutkan
diatas dengan harapan kalau jadi atau terpilih menjadi kepala desa mendapat
gaji 25 bau (1 Bau lebih kurang 0,75 Ha) sawah selam 6 (enam) tahun, yang jika
dikalkkulasikan mampu mengganti ongkos
politik yang dikeluarkan.
Namun sebaliknya bagi pihak yang
kalah dalam pertarungan PILKADES ini
dapat diyakini akan mengalami kerugian besar bahkan bisa sampai kedalam kebangkrutan.
Namun sekarang setelah
disyahkannya UU No. 6 Tahun 2014, Permen No. 113 Tahun 2014 maka Permen Dalam
Negeri No. 37 Tahun 2007 dicabut, dan dinyatakan tidak berlaku, maka ekstalasi politik mulai berubah, betapa
tidak, sistem gaji kepala desa berubah dari bengkok sawah yang besar diganti
dengan gaji bulanan yng nilai kursnya jauh
lebih rendah dari sistem bayaran bengkok, jika dihitung dengan ongkos politik
yang mencapai satu milyar, maka amat sulit untuk bisa mengembalikan modal
politik tersebut, hal inilah yang dipikirkan oleh orang yang akan maju menjadi
bakal calon (Balon) kepala desa pasalnya mereka para calon tahu betul, mereka
akan rugi besar meski nanti akan ada
Dana Desa, yang nilainya mencapai 1 Milyar Rupiah pertahun perdesa, namun dari pihak
pemerintah akan ada pendamping desa yang akan membimbing dalam penyususnan RAPBDesa
(Rencana Anggaran pendapatan dan Belanja Desa).
Namun demikian pada dasarnya jika
kepala Desa ingin melakukan pemalsuan anggaran bisa saja terjadi namun KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) siap menciduknya dan ‘Hotel
Prodeo’ (Baca: Penjara) siap menjadi tempat tinggalnya, Dan penulis
meyakini akan banyak para kepala desa yang akan masuk kedalamnya karena terjerat kasus korupsi.
Sisi baiknya ditetapkannya UU
no.6 Tahun 2014 itu menjadi angain segar jiwa-jiwa muda yang ingin memajukan
desanya untuk maju menjadi kepala desa, karena tidak lagi tidak lagi
membutuhkan dana besar untuk menjadi kepala desa.
Jika demikian maka bisa
disimpulkan Demokrasi Ala Wong Deso akan
mengalami kemajuan yang signifikan, indikatornya adalah, minimnya politik uang,
jiwa muda yang berpendidikan tinggi mau maju sebagai kandidat, dan kurangnya
cara mistis dalam demokarasi pemilihan desa. Dan akhirnya desa semakin maju dan
berdikari insyaallah.
0 komentar:
Posting Komentar