282.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[179] tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah
ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang
seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih
adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa
bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika
kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu. (QS. Al Baqarah:282-283).
**
Sinar
mentari perlahan menyingkapkan selimut malam yang meninabobokan penduduk yang
hampir seluruhnya petani itu, malam yang panjang bagi mereka yang sudah melepas
lelah telah memanen padinya. Kondisi berbeda dialami oleh Rahman panggil saja
namanya begitu, malam yang sunyi serta sejuk itu tak mampu melelapkan badan
serta pikirannya, betapa tidak ‘penebas sawah’ yang sedianya membayarkan hasil
tebasan sesuai hari perjanjian pembayaran justru membatalkan secara sepihak
kesepakatan transaksi sebelumnya, hancur harapan Rahman untuk bisa menggunakan
uang hasil panennya untuk kebutuhan hidup keluarganya.
Seminggu
sebelumnya hujan lebat mengguyur tanah desa tanpa henti hujan seperti hendak menunjukkan
kekuatannya yang mampu menyapu bersih
apa saja yang dia basahi, tak luput tanaman padi penduduk pun harus kena
imbasnya, areal persawahan akhirnya luluh lantah, tanaman padi ambruk, genangan
air memenuhi petak sawah para petani bahkan sampai mengembung sehingga padi
menjadi rusak dan harga jualnya turun secara drastis, karena alasan inilah para
ijoner (penebas sawah) membatalkan sepihak transaksi karena merasa rugi, suatu
hal yang tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun, karena jika untung mereka
diam saja, tetapi jika merasa rugi mereka limpahkan ke petani penggarap sawah,
sungguh praktek perdagangan yang terlarang dan tentu pelakunya berdosa karena
merugikan salah satu pihak,
Di
dalam Islam sendiri tentu diajarkan praktek ekonomi (muamalah) yang
sesuai dengan tuntunan Al Qur’an yang agung itu, bagaimana tuntunan berdagang
terutama sistem yang tidak menggunakan bayar langsung atau hutang piutang itu
termasuk praktek ijon atau tebas sawah itu, Ayat Al Qur’an diatas menjadi
rujukannya, QS Al Baqarah ayat 282-283 secara gamblang menjelaskan bagaimana sistem
utang piutang dianjurkan untuk ditulis atau dibukukan agar pada saat pembayaran
bisa dilakukan penarikan dengan bukti tertulis.
Kembali
pada sistem ijon atau penebasan hasil panen sawah, di Desa Poncoharjo pada
umumnya sistem ijon tidak menggunakan tulis menulis hanya sistem saling percaya
satu pihak dengan pihak yang lain (pembeli dan penjual), pada zaman sekarang sistem
‘saling percaya’ saja tidaklah cukup. Berkaca pada kasus yang dialami Rahman
diatas, penulis menganjurkan untuk membuat perjanjian tertulis yang ditandatangani
pihak I dan pihak II (penjul dan pembeli) dengan materai enam ribu rupiah sebagai
legalisasi surat perjanjian demi menghindari kerugian dari salah satu pihak.
Berikut contoh surat perjanjian tersebut klik link https://drive.google.com/open?id=1Gp7oYm2gQ3u1W7Juxi72j6boobL1WGvq ini.
Di
dalam tafsir Ibnu Katsir (Ismail Bin Katsir, 1301-1372), yang menjelaskan
tentang ayat di atas oleh Ibnu Katsir diberikan tambahan penjelasan Hadits Nabi
yang menceritakan umat terdahulu (yahudi) bahwa pada zaman dahulu salah satu Bani
Israil membuat perjanjian dengan sesamanya tentang utang piutang dengan sumpah
jaminan Allah SWT tetapi pada saat jatuh tempo yang berhutang tidak mampu membayarnya
karena alasan kendaran kapal tidak ada pada saat itu, namun kemudian ia membuat
lubang di bambu dan diisi dengan sejumlah hutangnya beserta surat penjelasan
atas tiadanya kapal angkutan yang ditujukan kepada pemberi hutang dan ditutup
kembali lubang bambu tadi, lalu dilemparkan ke laut berharap uang di bambu itu
sampai pada pemberi hutang lalu bertawakal kepada allah semoga uangnya sampai
pada orang yang memberi hutang, dengan ijin Allah sang pemberi hutang menemukan
bambu yang terdapat surat dan jumlah uang dari yang berhutang.
Singkat
cerita setelah mendapatkan kapal yang berlayar ke kampung pemberi hutang, dia
membayar hutangnya namun diberi tahu bahwa hutangnya telah terbayarkan dengan
menceritakan kejadian yang menimpanya.
Kembali
ke perjanjian dengan penebas sawah dan petani tadi, bahwa perjanjian saat ini
perlu dilakukan agar kejadian yang dialami Rahman diatas tidak terulang, mari
kita sadar hukum agar kehidupan berjalan dinamis dan stabil, salam…
Wallahu A'lam
0 komentar:
Posting Komentar