Selasa, 13 November 2018

PRAKTEK NEBAS PADI YANG SALAH






282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al Baqarah:282-283).
**
Sinar mentari perlahan menyingkapkan selimut malam yang meninabobokan penduduk yang hampir seluruhnya petani itu, malam yang panjang bagi mereka yang sudah melepas lelah telah memanen padinya. Kondisi berbeda dialami oleh Rahman panggil saja namanya begitu, malam yang sunyi serta sejuk itu tak mampu melelapkan badan serta pikirannya, betapa tidak ‘penebas sawah’ yang sedianya membayarkan hasil tebasan sesuai hari perjanjian pembayaran justru membatalkan secara sepihak kesepakatan transaksi sebelumnya, hancur harapan Rahman untuk bisa menggunakan uang hasil panennya untuk kebutuhan hidup keluarganya.
Seminggu sebelumnya hujan lebat mengguyur tanah desa tanpa henti hujan seperti hendak menunjukkan kekuatannya yang  mampu menyapu bersih apa saja yang dia basahi, tak luput tanaman padi penduduk pun harus kena imbasnya, areal persawahan akhirnya luluh lantah, tanaman padi ambruk, genangan air memenuhi petak sawah para petani bahkan sampai mengembung sehingga padi menjadi rusak dan harga jualnya turun secara drastis, karena alasan inilah para ijoner (penebas sawah) membatalkan sepihak transaksi karena merasa rugi, suatu hal yang tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun, karena jika untung mereka diam saja, tetapi jika merasa rugi mereka limpahkan ke petani penggarap sawah, sungguh praktek perdagangan yang terlarang dan tentu pelakunya berdosa karena merugikan salah satu pihak,
Di dalam Islam sendiri tentu diajarkan praktek ekonomi (muamalah) yang sesuai dengan tuntunan Al Qur’an yang agung itu, bagaimana tuntunan berdagang terutama sistem yang tidak menggunakan bayar langsung atau hutang piutang itu termasuk praktek ijon atau tebas sawah itu, Ayat Al Qur’an diatas menjadi rujukannya, QS Al Baqarah ayat 282-283 secara gamblang menjelaskan bagaimana sistem utang piutang dianjurkan untuk ditulis atau dibukukan agar pada saat pembayaran bisa dilakukan penarikan dengan bukti tertulis.
Kembali pada sistem ijon atau penebasan hasil panen sawah, di Desa Poncoharjo pada umumnya sistem ijon tidak menggunakan tulis menulis hanya sistem saling percaya satu pihak dengan pihak yang lain (pembeli dan penjual), pada zaman sekarang sistem ‘saling percaya’ saja tidaklah cukup. Berkaca pada kasus yang dialami Rahman diatas, penulis menganjurkan untuk membuat perjanjian tertulis yang ditandatangani pihak I dan pihak II (penjul dan pembeli) dengan materai enam ribu rupiah sebagai legalisasi surat perjanjian demi menghindari kerugian dari salah satu pihak.
Berikut  contoh surat perjanjian tersebut klik link https://drive.google.com/open?id=1Gp7oYm2gQ3u1W7Juxi72j6boobL1WGvq ini.

Di dalam tafsir Ibnu Katsir (Ismail Bin Katsir, 1301-1372), yang menjelaskan tentang ayat di atas oleh Ibnu Katsir diberikan tambahan penjelasan Hadits Nabi yang menceritakan umat terdahulu (yahudi) bahwa pada zaman dahulu salah satu Bani Israil membuat perjanjian dengan sesamanya tentang utang piutang dengan sumpah jaminan Allah SWT tetapi pada saat jatuh tempo yang berhutang tidak mampu membayarnya karena alasan kendaran kapal tidak ada pada saat itu, namun kemudian ia membuat lubang di bambu dan diisi dengan sejumlah hutangnya beserta surat penjelasan atas tiadanya kapal angkutan yang ditujukan kepada pemberi hutang dan ditutup kembali lubang bambu tadi, lalu dilemparkan ke laut berharap uang di bambu itu sampai pada pemberi hutang lalu bertawakal kepada allah semoga uangnya sampai pada orang yang memberi hutang, dengan ijin Allah sang pemberi hutang menemukan bambu yang terdapat surat dan jumlah uang dari yang berhutang.
Singkat cerita setelah mendapatkan kapal yang berlayar ke kampung pemberi hutang, dia membayar hutangnya namun diberi tahu bahwa hutangnya telah terbayarkan dengan menceritakan kejadian yang menimpanya.
Kembali ke perjanjian dengan penebas sawah dan petani tadi, bahwa perjanjian saat ini perlu dilakukan agar kejadian yang dialami Rahman diatas tidak terulang, mari kita sadar hukum agar kehidupan berjalan dinamis dan stabil, salam…


Wallahu A'lam 

0 komentar:

Posting Komentar